Tuesday 29 March 2011

Review Film Dokumenter Minamata Jepang





Tugas 1 MK. Ekologi Manusia                           Nama: Yasmin Ramadhini
Tanggal            : 21 Maret 2011                         NRP : I14080055

Krisis ekologi apa yang diperlihatkan oleh film di atas, buktikan berdasarkan fakta yang ada!
Krisis ekologi merupakan krisis ekosistem, yang merujuk pada hilangnya keseimbangan ekologis antara manusia dengan alam. Berdasarkan film dokumenter yang telah ditayangkan, ada 4 kasus besar yang terjadi, yaitu:
1.      Pencemaran akibat limbah merkuri yang terjadi di kawasan Teluk Minamata, yang menghadap ke Laut Siranui, Kota Minamata, Perfektur Kumamoto, Jepang pada tahun 1956. Ribuan warga yang menjadi korban mengalami penyakit aneh yang kemudian dikenal sebagai penyakit minamata. Penyakit yang disebabkan karena keracunan merkuri ini menyerang fungsi neurologis yang memiliki ciri-ciri layaknya penderita epilepsi, ataksia, sulit tidur, gangguan penciuman, kerusakan pada otak, bayi yang lahir cacat hingga menyebabkan kematian. Penyakit minamata tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga binatang yang mengonsumsi bahan makanan, air, maupun menghirup udara yang tercemar oleh merkuri yang sumbernya berasal dari limbah pupuk urea produksi Perusahaan Nippon Mitrogen Vertilaser, Chisso Co. LTD.
2.      Niigata Minamata Disease, atau penyakit minamata kedua terjadi di Perfektur Niigata pada tahun 1956, memiliki gejala yang sama seperti penyakit minamata di Kota Minamata. Penyakit ini juga disebabkan oleh limbah merkuri akibat pembuangan limbah pabrik kimia Showa Electrical Works yang membuang limbah ke sungai Agano, sehingga terakumulasi pada rantai makanan.
3.      Asma Yokkaichi di Kota Yokkaichi, Perfektur Mie, di Jepang pada kisaran tahun 1960. Penyakit yang mengganggu pernafasan karena paru-paru obstruktif kronis, bronchitis kronis, dan asma bronchial diidap oleh sebagian besar penduduk akibat limbah sulfur dioksida dan nitrogen dioksida dari perusahaan pengolahan petrokimia dan kilang minyak yang dibangun di daerah tersebut. Air yang tercemar oleh limbah menyebabkan ikan banyak yang mati dan mengalami kecacatan sehingga nelayan kehilangan mata pencaharian.
4.      Yang terakhir adalah penyakit Itai-Itai di Perfektur Toyama. Usaha pertambangan yang dikelola Perusahaan Kamioka dan Mitsui Mining and Smelting Co. telah menyebabkan pencemaran lingkungan berupa limbah cadmium di Sungai Jinzu yang digunakan untuk irigasi sawah dan kebutuhan penduduk sehari-hari. Penyakit yang ditimbulkan berupa rasa nyeri pada tulang hingga penderita merasa kesakitan tiap kali bergerak, banyak bayi yang kemudian lahir cacat, bahkan mengalami abortus dini.
Berdasarkan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi krisis ekologi yang terjadi akibat kegiatan manusia di negara Jepang, dimana derajat eksploitasi dilakukan secara berlebihan. Pencemaran lingkungan diakibatkan oleh kegiatan industri yang membuang limbah ke alam sehingga berdampak buruk bagi lingkungan maupun manusia dan telah menyebabkan berbagai permasalahan. Asma Yokkaichi memperlihatkan terjadinya krisis air dan udara. Sedangkan penyakit itai-itai dan minamata memperlihatkan terjadinya krisis air dan tanah.
Telaah krisis ekologi yang terjadi pada film di atas dengan konsep POET!
            Jika ditelaah menggunakan konsep POET, maka terdapat empat sektor yang saling mempengaruhi pencemaran lingkungan yang terjadi di Jepang, yaitu people (P), organization (O), environment (E), dan technology (T). Permasalahan krisis ekologi bermula dari jumlah penduduk Jepang (people) yang makin meningkat, sehingga terjadi over population. Angka kemiskinan penduduk Jepang pada masa itu masih cukup tinggi, namun pemerintah menginginkankan pendapatan negara berlipat ganda. Oleh karena itu banyak perusahaan yang melakukan produksi masal demi mendapatkan keuntungan dalam waktu yang singkat. Penduduk jepang mengalami perubahan gaya hidup karena masuknya pengaruh budaya barat pada akhir PD II. Industrialisasi (technology) menyebabkan pengaruh terhadap sektor lingkungan (environment), dimana industri menghasilkan zat sisa berupa limbah. Dampaknya adalah krisis ekologi berupa pencemaran lingkungan dan menyebabkan terjadinya krisis air, tanah maupun udara yang berujung dengan timbulnya berbagai penyakit.
            Pada mulanya penyakit yang timbul tidak diakui oleh pihak perusahaan yang terkait pencemaran lingkungan. Namun media massa (organization) berperan sangat penting, dimana mereka memfokuskan perhatian nasional terhadap masalah lingkungan yang multidimensional dan membentuk opini publik. Melalui proses yang panjang pada akhirnya muncul Diet Anti Polusi pada tahun 1970, yang berujung pada terjadinya revolusi undang-undang yang menyangkut polusi industri. Timbul juga gerakan anti polusi secara serempak, dan tercapainya kesepakatan antara pemerintah, pihak industrialis, dan warga setempat yang menjadi korban.
Apa yang menjadi akar permasalahan terjadinya krisis ekologi tersebut?
Akar permasalahan yang menyebabkan pencemaran lingkungan di Jepang disebabkan karena pemerintah Jepang yang menginginkan peningkatan pendapatan negara sehingga menyebabkan perusahaan-perusahaan di Jepang mengekspand fasilitasnya untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Menurut A. Hultkrant (1995), kecerdasan ekologis diaplikasikan dalam bentuk kearifan lokal berwawasan ekologis. Kearifan ini mampu melahirkan sikap manusia agar mampu hidup selaras dengan alam. Bergesernya nilai tersebut akan mengakibatkan sebuah ketidakseimbangan. Hal ini berlaku bagi seluruh kasus yang terkait masalah lingkungan di berbagai belahan dunia. Untuk kasus Jepang di masa kini, mengenai permasalahan nuklir akibat bocornya pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, telah mengakibatkan krisis ekologi baru yang tidak kecil dampaknya. Kemungkinan terjadinya masalah bila PLTN mengalami kebocoran tidak diperhitungkan sebelumnya oleh warga Jepang. Namun manusia terus belajar dari kesalahan, dan warga Jepang sedang berusaha mencari jalan keluar dari problem ekologi ini.

Monday 14 March 2011

PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK

Laporan Praktikum Tanggal Mulai : Senin, 28 Februari 2011

M.K. Evaluasi Nilai Gizi Tanggal Selesai: Senin, 7 Maret 2011

PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK

Oleh:

Kelompok 2B:

A. Nur Rahma Kurnia Sari I14080014

Ai Kustiani I14080044

Yasmin Ramadhani I14080055

Saumi Lil Hairi I14080068

Zaenudin I14080089

Asisten:

Purnawati Hustina Rachman

Putri Kusuma Winahyu

Penanggung Jawab Praktikum:

Dr. Rimbawan

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan tingkat kesejahteraan suatu negara berdampak pada perubahan gaya hidup, termasuk pola makan. Tingginya konsumsi gula dan lemak pada pola makan dapat menyebabkan terjadinya obesitas yang memicu terjadinya penyakit diabetes mellitus (DM). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesehatan dan memiliki usia produktif yang panjang adalah dengan cara mengatur pola makan sesuai dengan kondisi tubuh. Pengetahuan tentang hal tersebut sangatlah penting sehingga dalam memilih makanan dan jumlah yang dikonsumsi sesuai kebutuhan dan karakteristik kondisi tubuh. Makanan dapat membantu memulihkan kesehatan melalui berbagai manfaat kandungan gizi yang dimilikinya (Rusilanti 2008).

Seseorang yang mengidap penyakit tertentu harus mempelajari cara pengaturan makanan yang sesuai dengan sifat dari penyakit tersebut dan seberapa banyak zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kekeliruan dalam mengkonsumsi makanan dapat berakibat fatal bagi penderita . kondisi ini dapat dihindari bila kita memahami makanan yang dianjurkan dan yang harus dihindari untuk penyakit tersebut (Rusilanti 2008).

Salah satu hal yang penting dalam manajemen diet ini adalah pengetahuan bagaimana memilih makanan yang cocok untuk kontrol gula darah. Karbohidrat memegang peranan penting, namun kecepatan peningkatan kadar gula darah berbeda untuk setiap jenis pangan sumber karbohidrat. Oleh sebab itu pemilihan sumber karbohirat yang akan dikonsumsi menjadi penting. Selain itu mengetahui nilai IG beberapa jenis pangan sumber karbohirat juga perlu mengingat reaksi perubahan kadar gula darah tiap pangan berbeda.

Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. indeks pangan menggunakan indeks glikemik (IG) glukosa murni sebagai perbandingannya (IG gluksoa murni adalah 100) (Rimbawan & Siagiaan 2004). menurut miller (1997) berdasarkan respon glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu pangan ber-IG rendah (IG<55),>70). faktor-faktor yang dapat mempengaruhi IG pada pangan antara lain : cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotic, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat-zat anti gizi pangan (Rimbawan & Siagiaan 2004).

Tujuan

Praktikum indeks glikemik ini bertujuan untuk mengetahui indeks glikemik dari beberapa jenis bahan pangan yang akan diujikan.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Praktikum pengukuran indeks glikemik ini dilaksanakan pada hari senin, 28 Februari 2011 dan pengolahan data hasil pengukuran indeks glikemik dilaksanakan pada hari senin, 7 Maret 2011 pukul 14.00-17.00 WIB. Bertempat di Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Praktikum pengukuran indeks glikemik ini menggunakan alat praktikum Glukometer One Touch Glucose Blood System. Adapun bahan yang digunakan antara lain strip analisis glukosa, lancet, kapas swab, sampel darah, nasi, jagung, roti dan glukosa murni (standar).

Prosedur percobaan

Prosedur pengukuran indeks glikemik dan pengolahan data hasil pengukuran indeks glikemik adalah sebagai berikut:

Diukur berat dan tinggi badan serta IMT subjek.



Diukur berat pangan



Diberi pangan uji pada responden.



Dicek kadar gula darah pada menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120.



Diolah data menggunakan Microsoft Excell for Window.



Dienty data kadar gula darah subjek pada kolom yang tersedia di active sheet Microsoft Excell, kelompokkan berdasarkan pangan yang diujikan, kemudian dirata-ratakan.



Dibuat tabel perbandingan dari data yang telah dirata-ratakan sesuai waktu pengambilan sampel.



X

X



Data kadar gula darah subjek yang telah dirata-ratakan ditebarkan pada sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar gula darah).



Dibandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dengan cara mengintegralkan persamaan yang diperoleh.

( Gambar 1 pengukuran indeks glikemik dan pengolahan data hasil pengukuran indeks glikemik)



TINJAUAN PUSTAKA

Indeks Glikemik

Menurut Rimbawan 2004 dalam Bawal 2010, indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan.

Indeks glikemik ditemukan pada awal tahun 1981 oleh Dr David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan penanganan yang paling baik bagi penderita DM. Pada masa itu diet pada penderita DM didasarkan pada system porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar gula darah.

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa kedalam darah. Indeks glikemik murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain.

Kategori Indeks Glikemik Makanan

Menurut Rimbawan dan Siagian 2004 nilai GI dapat diartikan secara intuitif sebagai persentase pada skala mutlak dan biasanya dikategorikan sebagai berikut:

1. IG rendah, rentang IG <>

2. IG sedang, rentang IG 55 – 70 diantaranya : beras merah, nasi putih, es krim, kismis, gula meja, nenas, roti putih, dan lain-lain

3. IG tinggi, rentang IG > 70 diantaranya : wortel, semangka, madu, rice instant, corn flakes, dan lain-lain (Bawal 2010).

Sebuah makanan GI rendah akan melepaskan glukosa lebih lambat dan mantap. Sebuah makanan GI tinggi menyebabkan kenaikan lebih cepat kadar glukosa darah dan cocok untuk pemulihan energi setelah latihan ketahanan atau untuk seseorang mengalami hipoglikemia. Konsumsi pangan dengan nilai IG rendah diyakini memiliki keuntungan dibandingkan dengan IG tinggi. Penerapan konsep IG berguna bagi orang yang sedang mengatur kadar gula darah, misalnya orang yang mengalami diabetes. Penderita diabetes mellitus dapat memilih makanan yang tidak akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat (makanan memiliki IG rendah), sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada kadar yang tetap normal (70-110 mg/dl). Hal ini dikarenakan pada penderita diabetes terjadi kerusakan sel beta pancreas yang jika mengonsumsi makanan tidak diimbangi oleh sekresi insulin (Lasimo et al 2002 dalam Widowati (2007)..

Selain itu, penerapan konsep IG juga berguna untuk orang yang sehat. Konsumsi pangan yang memiliki IG rendah sangat baik untuk memelihara sistem metabolisme tubuh. Penelitian Youging (2006) menyatakan konsumsi pangan yang memiliki IG tinggi secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif secara kronik. Stress oksidatif adalah keadaan yang tidak seimbangn antara produk radikal bebas dengan antioksidan yang ada di dalam tubuh. Selain itu, konsumsi pangan dengan IG yang tinggi juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung.

Indeks glisemik dapat diterapkan hanya untuk makanan dengan kandungan karbohidrat yang wajar, sebagai tes bergantung pada mata pelajaran cukup mengkonsumsi makanan uji untuk menghasilkan sekitar 50 g karbohidrat tersedia. Banyak buah-buahan dan sayuran (tetapi tidak kentang) sangat sedikit mengandung karbohidrat per porsi, dan rata-rata orang tidak mungkin untuk makan 50 g karbohidrat dari makanan ini. Buah-buahan dan sayuran cenderung memiliki indeks glikemik rendah dan beban glikemik yang rendah. Ini juga berlaku untuk wortel, yang awalnya dan salah dilaporkan sebagai memiliki GI tinggi. Minuman beralkohol telah dilaporkan memiliki nilai GI rendah, tetapi perlu dicatat bahwa bir memiliki GI moderat. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi minuman beralkohol sebelum makan mengurangi GI makanan itu sekitar 15%. Sedang konsumsi alkohol lebih dari 12 jam sebelum tes tidak mempengaruhi GI.

Banyak diet modern bergantung pada indeks glisemik, termasuk South Beach Diet, Transisi oleh Pasar Amerika dan Memupuk Nutri System Diet. GI Program Simbol merupakan program sertifikasi GI dunia independen yang membantu konsumen mengidentifikasi makanan rendah GI dan minuman. Simbol hanya pada makanan atau minuman yang memiliki nilai GI mereka diuji sesuai dengan standar dan memenuhi kriteria sertifikasi Yayasan GI sebagai pilihan yang sehat dalam kelompok makanan mereka, sehingga mereka juga lebih rendah pada kilojoule, lemak dan/atau garam (Anonim 2011).

Nasi

Nasi berasal dari beras yang komponen utamanya adalah karbohidrat dengan kandungan lebih dari 90% dan sebagian besar karbohidratnya berupa pati. Pati adalah komponen utama dalam karbohidrat dan merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon glikemik (Willet et al 2002). Hasil penelitian Widowati (2007) menunjukkan bahwa kadar pati mempunyai korelasi tinggi terhadap respon glikemik. Hal ini berarti bahwa dikarenakan sebagian besar kandungan nasi adalah pati maka nasi memiliki indeks glikemik tinggi. Nasi yang memiliki indeks glikemik tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah secara cepat. Oleh karena itu, konsep lama dalam manajemen diet penderita diabetes menganjurkan agar membatasi konsumsi beras dan beralih kepada umbi-umbian (Foster-Powell et al 2002, Rimbawan dan Siagian 2004).

Pengonsumsian nasi indeks glikemik rendah atau dari beras berkadar amilosa tinggi maka laju pencernaan lebih lambat karena pada saat pengolahan atau pemanasan amilosa membentuk kompleks dengan lipid sehingga menurunkan kerentanan terhadap hidrolisis enzimatik dan laju pencernaan juga menurun (Yusof et al (2005) dalam Widowati (2007)).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik

Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) nilai IG suatu makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu proses pengolahan, kadar serat pangan, kadar amilosa dan amilopektin, serta kadar lemak dan protein. Proses pengolahan mempengaruhi IG karena proses pengolahan akan mempengaruhi daya cerna dan daya serap suatu bahan pangan. Semakin tingginya daya cerna dan daya serap suatu makanan maka semakin cepat menaikkan kadar gula darah, sehingga semakin tinggi pula nilai IG makanan tersebut. Proses pengolahan yang dapat mempengaruhi IG diantaranya adalah mengecilnya ukuran (penepungan) dan pemasakan. Penepungan menyebabkan ukuran partikel suatu makanan menjadi lebih kecil dan memperbesar luas permukan yang dapat bersentuhan dengan, sehingga semakin cepat pencernaan dan penyerapan karbohidrat. Pemasakan mempengaruhi IG karena proses pemasakan akan menggelatinisasi pati sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim dalam usus, sehingga dapat mempercepat kenaikan kadar gula darah.

Menurut Vosloo (2005) dalam Wijayanti (2010) pati bersifat dapat mengkristal. Jika pati yang telah mengembang dan siap untuk dicerna didinginkan maka pati tersebut dapat mengkristal dan dapat menjadi pati resisten. Elliason dan Gudmuson (1996) dalam Wijayanti (2010) menyatakan retrogadasi pati adalah perubahan yang terjadi pada pati yang telah tergelatinisasi menjadi lebih keras dan mengkristal. Derajat gelatinisasi pada makanan rebus meningkat karena pati telah mengkristal karena terjadi proses perebusan yang dapat mencapai suhu 90°C jauh diluar rentan suhu gelatinisasi pati jagung yaitu berkisar antara 61°C – 72°C (Fennema 1996).

Sedangkan menurut Bawal (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan IG antara pangan yang satu dengan lain yaitu cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, gizi pangan.

Proses penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan diserap menaikan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah menyerap air. Menurut Liljeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan, makin kecil ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi. Butiran utuh serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa dan insulin mengalami peningkatan yang bermakna.

Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi akibatnya mudah cerna. Sementara Amilopektin-polimer gula sederhana memiliki ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga mudah tergelatinisasi akibatnya mudah cerna. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa,respon gula darah lebih tinggi.

Pengaruh gula secara alami terdapat didalam pangan dalam berbagai porsi terhadap respon gula darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsumsi gula apapun strukturnya.

Menurut Miller dalam buku Indeks Glikemik Pangan, Pengaruh serat pada IG pangan tergantung pada jenis seratnya.bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya IG cenderung melebihi rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kacang-kacangan atau tepung biji-bijian memiliki IG rendah (30–40). Menurut Rimbawan (2004) serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambatnya lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon gula darah menjadi lebih rendah.

Pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah daripada sejenis berkadar lemak lebih rendah.

Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut dinamakan zat anti gizi. Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti gizi pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan karbohidrat didalam usus halus. Akibatnya IG pangan menurun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Rimbawan 2004 dalam Bawal 2010, indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan.

Pengukuran indeks glikemik (IG) pangan dilakukan dengan memberikan pangan uji dengan jumlah yang setara dengan 50 gram karbohidrat kepada seluruh subyek penelitian. Pangan tersebut diberikan kepada subyek setelah melakukan puasa selama 10 jam (overnight fasting). Hal ini dilakukan untuk mengurangi cadangan gula darah dalam tubuh yang dapat digunakan untuk mengasilkan energi sehingga gula darah yang diukur benar-benar merupakan respon terhadap pangan uji yang diberikan. Setelah itu, subyek diambil darahnya menggunakan fringer prick pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, dan menit ke 120. Kadar gula yang ditunjukkan oleh alat tersebut dibuatkan grafik menurut sumbu X dan Y. lalu dihitung luas daerah dibawah kurva baik menggunakan rumus integral maupun trapezoid. Nilai yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan luas kurva untuk pangan standar (dalam hal ini digunakan glukosa murni) untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan tersebut.

Sampel yang digunakan untuk pengukuran nilai indeks glikemik kali ini adalah jagung dan nasi. Pangan standar yang digunakan adalah roti tawar dan glukosa murni. Namun, yang digunakan untuk mengitung IG kali ini hanya glukosa murni. Hal ini dikarenakan nilai sebaran kadar gula darah subyek yang mengkonsumsi roti tawar dapat dikatakan tidak baik karena nilainya yang fluktuatif yang akan mempengaruhi nilai perhitungan IG pangan uji nantinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakdisiplinan subyek saat mengkonsumsi pangan tersebut atau mungkin ada kelainan dalam tubuh subyek tersebut. Berikut disajikan nilai indeks glikemik pangan uji.

Tabel 1 Nilai Indeks Glikemik pada pangan uji

Pangan

Indeks Glikemik

Jagung

78

Nasi

98

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa indeks glikemik untuk pangan jagung yaitu sebesar 78. Kategori pangan menurut indeks glikemik (IG) dengan glukosa murni sebagai standar yaitu IG rendah bila IG <> 70 (Rimbawan dan Siagian (2004)). Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jagung termasuk pada golongan IG tinggi. Begitupun dengan nasi termasuk pangan golongan IG tinggi karena nilai IG berdasarkan hasil pengukuran sebesar 98. Hal ini menunjukkan nilai IG nasi lebih besar dari nilai IG jagung.

Nilai IG suatu makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Rimbawan dan Siagian (2004), yaitu proses pengolahan, kadar serat pangan, kadar amilosa dan amilopektin, serta kadar lemak dan protein. Proses pengolahan mempengaruhi IG karena proses pengolahan akan mempengaruhi daya cerna dan daya serap suatu bahan pangan. Semakin tingginya daya cerna dan daya serap suatu makanan maka semakin cepat menaikkan kadar gula darah, sehingga semakin tinggi pula nilai IG makanan tersebut. Proses pengolahan yang dapat mempengaruhi IG diantaranya adalah mengecilnya ukuran (penepungan) dan pemasakan. Penepungan menyebabkan ukuran partikel suatu makanan menjadi lebih kecil dan memperbesar luas permukan yang dapat bersentuhan dengan, sehingga semakin cepat pencernaan dan penyerapan karbohidrat. Pemasakan mempengaruhi IG karena proses pemasakan akan menggelatinisasi pati sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim dalam usus, sehingga dapat mempercepat kenaikan kadar gula darah.

Jagung rebus direbus menggunakan air dalam waktu yang cukup lama. Hal ini dapat menyebabkan daya cerna pati yang terdapat di dalam jagung meningkat sehingga meningkatkan nilai indeks glikemiknya. Menurut Vosloo (2005) dalam Wijayanti (2010) pati bersifat dapat mengkristal. Jika pati yang telah mengembang dan siap untuk dicerna didinginkan maka pati tersebut dapat mengkristal dan dapat menjadi pati resisten. Elliason dan Gudmuson (1996) dalam Wijayanti (2010) menyatakan retrogadasi pati adalah perubahan yang terjadi pada pati yang telah tergelatinisasi menjadi lebih keras dan mengkristal. Derajat gelatinisasi jagung rebus meningkat karena pati telah mengkristal karena terjadi proses perebusan yang dapat mencapai suhu 90°C jauh diluar rentan suhu gelatinisasi pati jagung yaitu berkisar antara 61°C – 72°C (Fennema 1996). Suhu yang tinggi ini membuat granula pati mengembang dan beberapa granula terpisah dari molekul pati. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh karena permukaan yag bersentuhan dengan enzim pencernaan menjadi lebih luas. Reaksi inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan gula darah secara cepat.

Sedangkan menurut Bawal (2010) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan IG antara pangan yang satu dengan lain yaitu cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, gizi pangan. Proses penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan diserap menaikan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah menyerap air. Menurut Liljeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan, makin kecil ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi. Butiran utuh serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa dan insulin mengalami peningkatan yang sangat berarti.

Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa,respon gula darah lebih tinggi.

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa kedalam darah. Indeks glikemik murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain.

Golongan karbohidrat yang berasal dari tanaman terutama serealia adalah pati, polosakarida, dan selulosa. Pati dalam bahan pangan terdapat dalam dua bentuk, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki struktur yang tidak bercabang, sedangkan amilopektin memiliki struktur bercabang. Perbedaan bentuk struktur tersebut yang mempengaruhi nilai IG suatu makanan. Struktur amilosa yang lurus membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga lebih sulit dicerna oleh enzim, sedangkan amilopektin yang memiliki struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Dibanding sumber pati lain, jagung mempunyai beragam jenis pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70% amilosa, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Singh et al 2005). Karena jagung (dalam hal ini yang digunakan adalah jagung normal) memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi daripada kadar amilosa menyebabkan ia lebih mudah dicerna dan miliki nilai IG yang tinggi.

Nasi berasal dari beras yang komponen utamanya adalah karbohidrat dengan kandungan lebih dari 90% dan sebagian besar karbohidratnya berupa pati. Pati adalah komponen utama dalam karbohidrat dan merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon glikemik (Willet et al 2002). Hasil penelitian Widowati (2007) menunjukkan bahwa kadar pati mempunyai korelasi tinggi terhadap respon glikemik. Hal ini berarti bahwa dikarenakan sebagian besar kandungan nasi adalah pati maka nasi memiliki indeks glikemik tinggi.

Nasi yang memiliki indeks glikemik tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah secara cepat. Oleh karena itu, konsep lama dalam manajemen diet penderita diabetes menganjurkan agar membatasi konsumsi beras dan beralih kepada umbi-umbian. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa beras merupakan pangan hiperglikemik yaitu pangan yang dapat menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat dan tinggi. Padahal respon glikemik beras sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh cara pengolahan, jenis varietas dan komposisi kimia (Foster-Powell et al 2002, Rimbawan dan Siagian 2004). Hal yang sebaliknya terjadi jika mengonsumsi nasi indeks glikemik rendah atau dari beras berkadar amilosa tinggi maka laju pencernaan lebih lambat karena pada saat pengolahan atau pemanasan amilosa membentuk kompleks dengan lipid sehingga menurunkan kerentanan terhadap hidrolisis enzimatik dan laju pencernaan juga menurun (Yusof et al (2005) dalam Widowati (2007)).

Sebuah makanan GI rendah akan melepaskan glukosa lebih lambat dan mantap. Sebuah makanan GI tinggi menyebabkan kenaikan lebih cepat kadar glukosa darah dan cocok untuk pemulihan energi setelah latihan ketahanan atau untuk seseorang mengalami hipoglikemia. Konsumsi pangan dengan nilai IG rendah diyakini memiliki keuntungan dibandingkan dengan IG tinggi. Penerapan konsep IG berguna bagi orang yang sedang mengatur kadar gula darah, misalnya orang yang mengalami diabetes. Penderita diabetes mellitus dapat memilih makanan yang tidak akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat (makanan memiliki IG rendah), sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada kadar yang tetap normal (70-110 mg/dl). Hal ini dikarenakan pada penderita diabetes terjadi kerusakan sel beta pancreas yang jika mengonsumsi makanan tidak diimbangi oleh sekresi insulin (Lasimo et al 2002 dalam Widowati (2007)..

Selain itu, penerapan konsep IG juga berguna untuk orang yang sehat. Konsumsi pangan yang memiliki IG rendah sangat baik untuk memelihara sistem metabolisme tubuh. Penelitian Youging (2006) menyatakan konsumsi pangan yang memiliki IG tinggi secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif secara kronik. Stress oksidatif adalah keadaan yang tidak seimbangn antara produk radikal bebas dengan antioksidan yang ada di dalam tubuh. Selain itu, konsumsi pangan dengan IG yang tinggi juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung.

Banyak diet modern bergantung pada indeks glisemik, termasuk South Beach Diet, Transisi oleh Pasar Amerika dan Memupuk Nutri System Diet. GI Program Simbol merupakan program sertifikasi GI dunia independen yang membantu konsumen mengidentifikasi makanan rendah GI dan minuman. Simbol hanya pada makanan atau minuman yang memiliki nilai GI mereka diuji sesuai dengan standar dan memenuhi kriteria sertifikasi Yayasan GI sebagai pilihan yang sehat dalam kelompok makanan mereka, sehingga mereka juga lebih rendah pada kilojoule, lemak dan/atau garam (Anonim 2011).

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2011. Indeks Glikemik Makanan. http://www.news-medical.net/. [7 Maret 2011].

Bawal Hot. 2010. Penelitian Indeks Glikemik. http://penelitian-indeks-glikemik.blogspot.com/. [7 Maret 2011].

Elliason, Gudmuson. 1996. Starch : Physicochemical and function a aspect. Dalam : Elliason Editor. Carbohydrate in Food. New York : Macarell Dekker Inc

Fennema. 1996. Food Chemistry. New York : Macarell Dekker Inc

Miller JCB, S Hayne, P petozc, S Colagiuri. 2003. low-glykemic index diets in the management of diabetes. A meta-analysis of randomized controlled trials. diabetes care 26 : 2261-2267.

Rimbawan, Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta : Penerbit Swadaya

Rusilanti. 2008. Menu Sehat untuk Pengidap Diabetes Melitus. Kawan Pustaka, Jakarta.

Singh, N., K. S. Sandhu, and M. Kaur. 2005. Physicochemical properties including granular morphology, amylose content, swelling and solubility, thermal and pasting properties of starches from normal, waxy, high amylose and sugary corn. Progress in Food Biopolymer Research. Vol 1: 43-55. http://www.ppti.usm.my/pfbr.

Vosloo. 2005. Some factor affecting the digestion carbohydrate and the blood glucose respond. Journal of Family Ecologi and Consumer Science, Vol 33

Widowati S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak The Hijau dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Mellitus. Tesis. Bogor: Pascasajana.

Wijayanti. 2011. Nilai indeks glikemik beberapa produk olahan jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) varietas diamond sweet [skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

Willet W, Manson J, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr 76 (1):274S-280S.

Wednesday 2 March 2011

PENGGUNAAN FUNGSI LOGIKA DAN STATISTIK DALAM PENGOLAHAN DATA


Laporan Praktikum 1                                  Hari/Tanggal : Senin/28 Februari 2011
M.K. Analisis Data Penelitian Gizi                               


PENGGUNAAN FUNGSI LOGIKA DAN STATISTIK DALAM PENGOLAHAN DATA


Oleh :
Yasmin Ramadhini       I14080055
                                     

Asisten Praktikum :
Pera Tinfika Mutiara, S.Si
Priskila
Rizwana Syarifah


Penanggung Jawab Praktikum :
Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc




ipb-logo                                                                       









DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PEMBAHASAN
IMT-Status Gizi
Data yang diperlukan untuk menentukan status gizi sesuai dengan nilai index massa tubuh (IMT) adalah nama, umur, berat badan, dan tinggi badan.
Contoh tabel data mahasiswa gizi masyarakat 45 berdasarkan  jenis kelamin, umur, BB dan TB
Untuk mendapatkan nilai IMT (kg/m2) digunakan rumus =E3/(F3/100)^2
Dimana E3 merupakan alamat dari berat badan dan F3 adalah alamat dari tinggi badan yang diinginkan
Rumus untuk menentukan IMT-status gizi adalah dengan menggunakan fungsi logika IF. Fungsi ini dapat digunakan untuk menentukan suatu tes logika untuk dikerjakan, dan mempunyai bentuk:
=IF(tes logika; nilai jika benar; nilai jika salah)
Percabangan tidak hanya pemisahan menjadi dua kemungkinan saja, namun juga bisa menjadi banyak kemungkinan. Untuk percabangan yang memisahkan ke banyak kemungkinan harus menggunakan IF secara bertingkat. Fungsi IF dengan format lengkap adalah sebagai berikut :
IF(logical_test;value_if_true;value_if_false) dimana :
• logical_test merupakan syarat dari percabangan.
• value_if_true merupakan nilai jika syarat percabangan terpenuhi.
• value_if_false merupakan nilai jika syarat percabangan tidak terpenuhi.
Langkah-langkah untuk menyelesaikannya melalui function wizard, untuk mendapatkan status gizi berdasarkan IMT adalah sebagai berikut :
1. Klik pada sel H3.
2. Tuliskan rumus fungsi IF sebagai berikut =IF(G3<18,5;"Kurus";IF(G3<23;"Normal";IF(G3<25;"Overweight";
IF(G3<27;"Obesse1";IF(G3<30;"Obesse2";"Obesse3")))))
     Diketahui kategori status gizi:


·         kurus < 18,5
·         Normal 18,5 - 23
·         Overweight ≤ 23 - 24,9
·         Obese1 ≤ 25 - 26,9
·         Obese2 ≤ 27 - 29,9
·         Obese3 ≤ 30


Penjelasan fungsi IF:
1. Pada Logical Test ditulis G3 < 18,5 dst adalah karena di sel G3 lah letak dari nilai yang akan dilakukan penyeleksian. Ketikkan syaratnya pada isian logical_test, misalnya G3 < 18,5, yang artinya jika data di cell kurang dari 18,5 maka bernilai benar dan jika lebih dari 18,5 maka bernilai salah.
2. Ketikkan teks “Kurus” pada isian value_if_true, yang artinya jika pada logical_test bernilai benar maka teks ini yang akan dihasilkan/dikeluarkan.
= IF(logical_test;value_if_true;value_if_false)
=IF(G3<18,5;"Kurus"; “Tidak Kurus”)
3. Ketikkan cabang fungsi IF selanjutnya dari persamaan pernyataan “Tidak Kurus” pada isian value_if_false, yang artinya jika pada logical_test bernilai salah maka teks ini yang akan dihasilkan/dikeluarkan. Rumus logika yang digunakan adalah Rumus Logika IF yang bercabang, dengan rumus sebagai berikut:
=IF(logical_test;value_if_true;value_if_false)
=IF(G3<18,5;"Kurus";IF(G3<23;"Normal";IF(G3<25;"Overweight";
IF(G3<27;"Obesse1";IF(G3<30;"Obesse2";"Obesse3")))))
4. Klik OK. Copy-kan formula ke sel dibawahnya.
Pemberian tanda “ ” merupakan tambahan jika ingin menambahkan statement berupa kalimat atau string. Didapatkan hasil akhir seperti gambar berikut :


Data Statistik
Tabel hasil statistik variable BB, TB, dan IMT

BB
TB
IMT
Mean
54,7
162,8
20,6
Max
80,0
175,0
26,1
Min
42,0
151,0
17,2
SD
7,2
6,4
2,1
Rumus yang digunakan
·                     Mean menunjukkan rata-rata dari data. Misalnya pada mean berat badan (BB), artinya adalah nilai rata-rata dari seluruh data berat badan yang ada pada tabel. Rumus yang digunakan adalah
=AVERAGE(E3:E32)
Rumus ini menghasilkan nilai rata-rata (average) dari data pada kolom E3 hingga E32
·                     Max menunjukkan nilai terbesar dari data. Misalnya pada max berat badan (BB), artinya adalah nilai terbesar dari seluruh data berat badan yang ada pada tabel. Rumus yang digunakan adalah
=Max(E3:E32)
Rumus ini menghasilkan nilai terbesar (max) dari data pada kolom E3 hingga E32
·                     Min menunjukkan nilai terkecil dari data. Misalnya pada min berat badan (BB), artinya adalah nilai terkecil dari seluruh data berat badan yang ada pada tabel. Rumus yang digunakan adalah
=Min(E3:E32)
Rumus ini menghasilkan nilai terkecil (min) dari data pada kolom E3 hingga E32
·                     SD menunjukkan standar deviasi atau simpangan baku  dari data. Misalnya pada SD berat badan (BB), artinya adalah nilai simpangan baku dari seluruh data berat badan yang ada pada tabel. Rumus yang digunakan adalah
=Stdev(E3:E32)
Rumus ini menghasilkan nilai standar deviasi (Stdev) dari data pada kolom E3 hingga E32